Berjalanlah kaki kecil-ku ke sebuah peron sambil menunggu kereta yang akan berangkat menuju ke kota kelahiranku. Kota yang selama ini menjadi saksi akan perjuangan. Diantara rintik hujan pada pertengahan bulan September aku berlari menuju kereta yang siap mengantarkan pada kota bernama Surabaya. Perlahan kereta mulai berjalan, sembari menatap hujan dari balik jendela memikirkan hal hal yang entah perlu dipikirkan atau tidak.
Salah satunya adalah bagaimana kuhabiskan hariku nantinya setibanya disana, entah dengan hanya duduk di kedai kopi atau sekedar melihat hujan di balik kamar kecilku, tapi yang terpenting dari itu semua adalah memikirkan sebuah pertemuan dengan seorang kamu. Bagiku pertemuan tidak pernah sesederhana itu diantaranya adalah menyiapkan apa yang harus di obrolkan, pakaian apa yang akan kita kenakan sampai bagaimana cara menyapa orang tuanya.
Dari sekian banyak hal tersebut ada satu yang terbesit di pikiranku \”Mengapa hal sekecil itu menjadi penting bagiku\” , tak sempat berpikir tiba tiba roda roda kereta mulai berjalan pada jalurnya perlahan dan semakin cepat melaju meninggalkan peron keberangkatan. Bukannya terlalu memikirkan hal hal seperti itu, tetapi tetap bagiku kamu adalah satu persen (1%) dalam hidupku, awalnya hanyalah butiran, butiran yang jatuh biasa saja seperti gerimis yang perlahan menyisahkan setitik percikan di tanah. Darisanalah kamu datang layaknya gerimis yang mengisi titik demi titik dan persen demi persen hidup, Membuat yang sederhana menjadi sesuatu yang teramat penting.
Darimu aku belajar bagaimana menata konstelasi kehidupan terlihat lebih bagus nan indah, yang semula konstelasi ini tak pernah kutata kubiarkan segalanya bergeser hanya karena sang waktu, tetapi waktu tak akan menata dan menyembuhkan segalanya. Terkadang yang menjadikan kehidupan lebih berarti dan menuju ke arah lebih baik adalah dengan Kehadiran seseorang atau juga kehilangan yang selama ini kita genggam. Dari semua itu kita juga tidak bisa berharap menunggu seseorang untuk merubah kehidupan.
Jesss….. bunyi kereta berhenti di sertai suara khas peron. Setelah 3 jam berkontemplasi asik kereta telah sampai pada akhir tujuan. Stasiun Gubeng Surabaya itulah yang saat ini di depan mataku. Ada rasa rindu mendalam saat setibanya di kota ini, entah itu rindu akan keramaiannya yang berpusat di Jalan tunjungan, embong malang dan sudut sudut lainya, rindu akan cara bicara masyarakatnya yang selama ini terframing kasar padahal begitulah cara keramahan kota ini. Terkadang sesuatu menjadi PENTING bila ada RINDU di dalamnya, kota yang awalnya tidak pernah kita syukuri tiba tiba saat kita merasa jauh dan bisa kembali datang adalah hal yang jauh bisa kita syukuri saat berada di dalamnya. Kota yang pernah memberikan ruang kehidupan untuk kita, ruang memori untuk kita, hingga rasa. Entah dari manusianya, kulinernya atau hanya sekedar melihat sudut lampu kotanya.

Disclaimer : Segala aset foto di Post blog ini adalah hasil jepretan saya, apabila ingin di gunakan ulang silahkan dan akankah lebih baiknya untuk izin terlebih dahulu, jika ingin digunakan ulang tanpa seizin saya silahkan. Hanya perihal etika dalam berkarya saja 🙂
Tinggalkan Balasan