Ngopi Bersama Tuhan (Another Art of Ma\’Rifat)

Tadi malam saya kedatangan tamu spesial.
Tiba-tiba saja dia mengetuk pintu, meminta ijin masuk dan mengajak saya ngopi berdua.

Dia berkata pada saya “panggil saja saya Tuhan”

Kami pun duduk… saya selonjoran tepatnya.
Dia juga tampak tak masalah dengan posisi santai saya.
Dia menyuruh saya untuk santai saja dan tidak perlu serius atau formal banget.

Sambil meniup-niup kopi yang masih panas di tangan, saya bertanya alasan kedatangannya.
Lalu dia menjawab, “Memangnya selalu butuh alasan untuk seorang sahabat datang mengunjungi sahabatnya?”

Saya mengatakan tidak tahu juga.
Karena rasanya di dunia yang penuh dengan kecanggihan teknologi saat ini, orang-orang lebih suka untuk berhubungan melalui gadget tercanggih termahal mereka daripada bertemu langsung dengan para kerabat.
Bahkan dengan yang tinggal satu atap pun masing-masing bisa begitu apatis namun sangat interaktif dengan gadget di tangan.

Dan mulailah dari situ percakapan antar sahabat itu dimulai…

Tuhan: “Dunia kehidupan ini memang akan selalu berkembang. Hukum evolusi akan selalu berlaku. Tidak pernah akan ada kehidupan yang terus menerus bertahan stagnan. Perubahan pasti terjadi. Perubahan yang terjadi tidak pernah membawa kebaikan atau keburukan. Sifatnya netral sekali. Namun pasti ada konsekuensi.”

Saya: “Tidak ada yang baik dan buruk? Bukannya semua hal pasti masuk kategori baik atau buruk?”

Tuhan: “Itu kan label kalian… semuanya juga netral saja sifatnya. Kalian manusia saja yang senang sekali membuat label untuk menjustifikasi penilaian kalian akan orang lain.”

Saya: “Jadi tidak ada yang salah dengan keapatisan manusia saat ini akan manusia lain & lebih memilih berinteraksi dengan gadget?”

Tuhan: “Itu kan memang perubahan yang harus terjadi. Evolusi teknologi dari ratusan tahun lampau hingga mencapai tahap ini. Perubahan pasti terjadi kok. Tapi bagaimana kalian menyikapi perubahan tersebut, itu kondisi lain lagi. Pilihan itu kan selalu ada. Dengan perkembangan teknologi yang ada sekarang, kalian bisa memilih tetap menjadi makhluk sosial yang menggunakan gadget sebagai pendukung kehidupan atau menjadi makhluk gadget yang lupa hakikinya sebagai makhluk sosial. Perkembangan teknologi bisa membuat kalian berkembang sebagai makhluk sosial yang menggunakan gadget sebagai alat bantu kehidupan sehari-hari atau membuat kalian mundur hakikat kemakhluksosialannya dan menjadi makhluk ber-gadget soliter yang lebih akrab dengan tuts serta layar.”

Saya: “Evolusi pasti terjadi… bagaimana evolusi tersebut berefek merupakan pilihan pribadi setiap makhluk.”

Tuhan: “Betul sekali.”

Saya: “Tidak ada yang benar… Tidak ada yang salah…”

Tuhan: “Hukum polaritas, sayang… semua selalu ada polaritasnya. Semua yang diasumsikan salah pasti ada sisi benarnya juga. Begitu pula sebaliknya. Jadi benar salah itu subyektif sekali. Semua netral. Yang diasumsikan paling kejam & salah seperti Hitler pun pada akhirnya ada benarnya juga. Karena dari Hitler lah, jika kita mampu, kita bisa benar-benar belajar tentang kekejaman.”

Saya: “Jika hukum polaritas memang berlaku lalu kenapa orang-orang pada sibuk cari duit demi kekayaan, berbondong-bondong membangun citra sehingga bisa paling tenar, paling ok & diakui sejagat. Padahal sebenarnya tidak ada yang benar-benar kaya atau miskin, tenar atau jelata juga kan?”

Tuhan: “Karena mereka lupa ada yang namanya hukum keberlimpahan dan hukum irama.”

Saya: “huh??”

Tuhan: “Jangan serius-serius gitu ah tampangnya… santai aja.
(tersenyum simpul)

Saya: “Hukum keberlimpahan?”

Tuhan: “Hukum keberlimpahan. Berlimpah disini maksudnya bukan ada trilyunan duit di bank. Bukan berapa ratus ragam mobil ada di garasi. Bukan berapa lemari penuh berisi tas bermerek yang kalian punya. Bukan tentang hal-hal tersebut. Berkelimpahan yang dimaksud adalah berkecukupan. Bahwa apapun yang kalian butuhkan pasti akan selalu tercukupi karena alam semesta ini begitu berlimpah, JIKA dan hanya JIKA kalian memang benar-benar mau berusaha untuk memperolehnya. Tidak takut juga untuk membaginya karena yakin yang ‘pergi’ dari kalian pasti kembali lagi secara berkecukupan… pada saat kalian membutuhkannya.”

Saya: “Jadi kita hanya perlu anteng aja duduk menunggu kecukupan kita?”

Tuhan: “Itu sih namanya mental gratisan! Maunya gratisan mulu, maunya enak mulu, maunya ga ngapa-ngapain tapi hidup enak. Semesta ini memang demikian berlimpah. Namun perlu tetap untuk diusahakan. Sama seperti contohnya Indonesia yang tanahnya subur sekali. Tapi kalau tidak ada yang mau jadi petani & mengusahakannya, mana mungkin ada hamparan hijau indah, padi, hasil alam berlimpah di mana-mana.”

(Tuhan berhenti sebentar, menghirup kopinya… dan tersenyum..)

Tuhan: “Kopi… Salah satu hasil alam yang luar biasa… Jadi, sayaaang, berkelimpahan yang dimaksud adalah berkecukupan tidak hanya dari apa-apa yang datang dalam hidup kalian, tapi juga berkecukupan usahanya. Tidak perlu sampai harus melupakan keluarga bekerja 36 jam dalam sehari atau kekepin duit terus-menerus karena takut kekurangan. Berusaha secara berkecukupan dengan intensi untuk mendapatkan apa yang memang kalian butuhkan tanpa melupakan hakikat kalian sebagai manusia.”

Saya: “Hukum irama?”

Tuhan: “Ah, hukum irama… Hukum irama adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri di semesta ini. Walaupun sayangnya, masih tak terhitung juga dari kalian yang berusaha menyangkalnya. Hukum irama adalah hukum pasti bahwa semua pasti berputar karena ada iramanya. Kadang di atas, kadang di bawah. Tanpa mengakui adanya hukum irama, kecenderungan kalian jadinya ingin selalu menggenggam erat apa yang ada di tangan. Megangin sampai capek masa muda, kecantikan, kekayaan, pasangan, ketenaran… semua digenggam kepal sampai ribet sendiri akhirnya.”

Saya: “Ribet?”

Tuhan: “Kamu ngertilah maksud saya dengan ribet. Ribet bolak-balik sedot lemak atau operasi plastik demi tetap sekencang balon yang siap meletus. Ribet sewa brankas terbesar yang ada di dunia. Ribet cek pasangan bolak-balik lagi ngapain saat kita ga ada. Ribet ga mau kalah saat ada yang (diasumsikan) lebih tenar. Semua juga dibuat ribet. Yang tidak kalian sadari hukum irama kebal akan itu semua. Jadi jika saatnya memang sudah tiba, masa tua tetap datang, materi bisa tiba-tiba hilang, pasangan atau orang-orang yang ada dalam hidup kalian bisa pergi karena waktu bersamanya sudah kadaluarsa, saat itu semua terjadi karena memang sudah iramanya manusia ribet depresi atau beragam gangguan psikologis lainnya.”

Saya: “Hidup indah yang simpel dibuat menjadi ribet oleh manusianya sendiri.”

Tuhan: “Demikianlah yang terjadi…” (tersenyum)

Saya: “Mengapa manusia senang membuat drama mengulang kesalahan yang sama kalau begitu? Padahal sudah tahu hanya akan buat ribet lagi seperti yang sudah-sudah sebelumnya.”

Tuhan: “Jangan tanyakan pada saya… Tanyalah pada diri kalian manusia. Saya menciptakan kalian dengan satu organ tubuh yang hanya dimiliki oleh manusia dan itu membedakannya dengan makhluk hidup lain. Organ tubuh tersebut adalah otak besar… Cerebrum. Otak besar membuat manusia mempunyai kemampuan untuk berpikir, menganalisa, berlogika, berbahasa, merencanakan dan juga kemampuan akan visual, kesadaran dan memori. Apakah keberadaan organ tersebut sudah kalian gunakan, tidak hanya secara maksimal, namun juga secara bijak?”

Saya: “Bijak seperti apa?”

Tuhan: “Bijak untuk menyeimbangkannya dengan kasih, keberanian, rasa dan empati. Banyak orang ber-IQ sangat sangat cerdas di dunia ini. Tapi apakah mereka bisa menggunakan bagian cerebrum yang terkait dengan kesadaran untuk berempati menyadari bahwa dirinya & diri manusia lain saling terhubung satu dengan yang lain sehingga penindasan sungguh suatu hal yang tidak perlu dilakukan, jika kalian pun tak ingin hal tersebut dilakukan juga pada diri kalian. Apakah bagian cerebrum untuk menganalisa dan perencanaan telah dipakai secara bijak untuk menelaah masalah-masalah yang ada dalam hidup kalian lalu merencanakan juga dengan bijak bagaimana supaya masalah sama tidak lagi terulang. Bijak kah kalian menggunakan organ tubuh yang hanya ada pada diri kalian manusia untuk membantu kalian menjadi satu-satunya makhluk hidup yang berakal? Dalam bahasa Arab ada ungkapan yang sangat terkenal, ‘al insaanu hayawaan naatiq’… Manusia adalah hewan (makhluk hidup) yang berakal.”

Saya: “Makhluk hidup yang berakal”

Tuhan: “Makhluk hidup yang berakal yang mampu untuk menyeimbangkan juga hati, mata dan telinga. Dalam kitab Al-Quran ada surat Al-‘Araaf 7:179: Dan sesungguhnya kami jadikan isi neraka kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami. Mempunyai mata tapi dipergunakan untuk melihat. Dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar. Mereka adalah orang-orang yang lalai.”

(Tuhan kembali menghirup kopinya dengan begitu nikmat)

Tuhan: “Jangan salah artikan bahwa hanya di kitab Al-Quran saja pembahasan ini ditemukan. Di semua kitab suci manusia banyak menceritakan tentang manusia yang lalai. Manusia-manusia lalai yang tidak benar-benar bersyukur dengan menggunakan satu-satunya organ tubuh yang hanya manusia yang memiliki. Tidak juga benar-benar bersyukur dengan menggunakan hati, mata dan telinga yang dimiliki untuk benar-benar bijak merasa, melihat dan mendengar. Manusia-manusia lalai yang menciptakan neraka mereka sendiri di dunia ini saat mereka bahkan masih bernapas. Jadi neraka yang disebut di surat tadi, dapat saja bukan neraka saat sudah tak bernapas. Namun neraka bahkan saat masih bernapas. Neraka ciptaan manusia sendiri.”

Saya: “Tidak bisakah seorang Tuhan mengintervensi hal ini sehingga semua bisa bahagia?”

Tuhan: “Intervensi? Bahagia? Hehehehheheeeee… apa yang bisa saya intervensi? Kehidupan ini adalah tanggung jawab kalian. Masing-masing memiliki hak untuk menentukan diri pribadi hendak dibawa kemana sampai dengan akhir napas. Dan kebahagiaan… Kebahagiaan adalah hak hakiki kalian. Tapi kalau kalian masih lebih senang menciptakan drama dan neraka dunia kalian sendiri, oh well… saya kan hanya bisa menjadi pengamat yang baik.”

(Lalu Tuhan tersenyum…)

Tuhan: “Sudah malam rasanya… Besok hari yang indah lagi. Dan kita bisa bercakap-cakap kembali.”

Saya: “Tapi masih banyak pertanyaan rasanya.”

Tuhan: “Saya juga ga pernah ke mana-mana kok… kalian saja yang suka lupa, suka jauh-jauh nyari saya, sampai ke ujung dunia atau bahkan sampai meninggalkan orang-orang tercinta. Padahal saya ada saat kalian bernapas, berjalan, bercermin. Ngobrol aja… jangan dibuat ribet. Saya selalu jawab kok. Santai aja…

(dan ia pun mulai berdiri…)

Tuhan: “Terima kasih atas kopi dan percakapan yang indah ini.”

Saya:Lah ga kebalik?!?! Harusnya saya yang berterima kasih.”

Tuhan: “Saya pun berterima kasih… Tanpa kalian manusia, saya juga tidak akan memiliki eksistensi hidup. Tidak ada atasan dan bawahan dalam hidup indah ini. Kita semua, termasuk saya, belajar bersama.”

(Ia berjalan mendekat.. mendekap saya erat.. dan tiba-tiba menyatu dalam diri)

Saya…
… diam terpekur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *